TESTING KEKUATAN KONSEP DIRI

Nongkrong di ujung jalan Malioboro Yogyakarta

Sore ini menikmati “me time” dengan jalan-jalan keliling Malioboro dari jam 16.00 – 18.00 WIB. Jadi teringat dulu saat masih sekolah di Solo, pernah jalan-jalan juga ke Malioboro dan jalan-jalan sendiri juga. Jadi napak tilas deh.

Malioboro saat ini udah bagus area pejalan kakinya. Ada kursi yang nyaman diduduki, dan sudah diberi semen semua lantainya. Hanya masih ada yang merokok bebas di sana meski sudah ada pengumuman pelarangan merokok di tempat umum.

Setelah shalat Maghrib di samping stasiun Tugu Yogyakarta, maka saya bergegas segera jalan menuju stasiun, agar bisa segera mencetak tiket dan menuju ruang tunggu. Saat baru keluar dari tempat shalat, badan masih segar-segarnya habis wudhu. Tiba-tiba papasan dengan seseorang yang masih muda, berpakaian agak sporty, menggunakan tas selempang ala ala anak muda jaman now, dan dia menuntut sepedanya. Mata ketemu mata, lalu menyapa.

Orang itu menyapa terlebih dahulu, Assalamu’alaikum kang. Saya jawab, Wa’alaikum salam. Mungkin ini keramahan orang Yogya kali ini, pikir saya dalam hati.

Ia mengaku seseorang dari kota di Jawa Barat. Saya ditanyain ini di Yogya lagi apa. Saya jawab lagi kerja. Mau pulang ke Cibubur. Obrolan dalam tone penuh semangat dan ramah-tamah ala orang Timur. Saya masih senyum. Masih positive thinking.

Saya segera mau pamit. Saya kira ini sapaan orang yang mungkin mengira tadinya itu adalah teman lamanya. Lalu ternyata bukan dan karena sudah terlanjur menyapa, ya sekalian dilanjutkan.

Lalu mulailah twist cerita ini berubah.

“Kang, sebenarnya saya lagi ada masalah. Saya belum bayar kos Rp 500.000 udah dimintain terus sama ibu kos sejak kemarin. Kalau bisa, tolong saya kang…”

Otak reptile saya, auto saya ON kan. Ini gak benar, segera terminasi, lalu pergi. Begitu pikir saya dalam internal diri.

Dia melihat saya tidak teryakinkan oleh ceritanya. Saya angguk-angguk saja. Ooooo….

Dia coba lagi, “Minimal saya bisa bayar Rp 300.000 aja kang. Please kang. Tolong saya.”

Dia mulai menurunkan angka Rp 500.000 jadi Rp 300.000. Cepat amat menyerahnya. Saya tandai. Saya tidak goyah.

Dia mulai menunjukkan jamnya merk Casio. “Saya sebenarnya mau jual jam saya. Ini kang. Tolong saya kang.”

Saya jawab, “Jika itu masalahnya, saya bukan orang yang tepat untuk dimintai tolong seperti ini. Mas masih muda. Mas masih punya sepeda bagus begini. Mas punya jam. Cari tempat yang tepat untuk mendapatkan uangnya. Bukan saya.”

“Ooo gak bisa nih?” Tanyanya agak nge-gas dikit naik tone nya. “Kalau gitu saya ngerokok dulu.” Dia buka tas kecilnya yang ia selempangkan di dada melingkari leher dan menyilangi punggung hingga dada. Ia keluarkan sebatang rokok, ia bakar rokok itu. Ia hembuskan tidak ke hadapan saya, ke arah yang berlawanan.

“Mas masih muda, mas masih sehat, mas aja bisa beli rokok, punya sepeda, saya akan menyemangati mas, pasti bisa menemukan uang untuk kos-kosan mas. Semangat!!!” Support saya sambil saya kepal jari tangan kanan saya.

“Paling gak kasih saya 20 lah mas (maksudnya Rp 20.000). Saya belum makan.” Katanya lagi mengiba sambil tetap menghisap dan menghembuskan asap rokoknya.

“Good luck mas.” Saya sodorkan telapak tangan saya untuk bersalaman tanda pisah dengannya. Ia menolak dan meracau seperti bergumam aiueo gak jelas dan tidak menatap mata saya.

Saya langsung berucap, “Assalamu’alaikum…” Saya kemudian arahkan badan saya hadap kanan, melanjutkan perjalanan menuju stasiun Tugu Yogyakarta.

Apa yang saya pelajari dari kasus ini? PERTAMA, Ini adalah kasus yang mengetest seberapa kuat KONSEP DIRI saya. Seberapa tinggi/ rendah kualitas sistem awareness saya dalam membaca situasi, kondisi, fakta, data, tanda, gejala, maksud beyond di balik tindakan, dalam waktu yang sangat singkat.

Jika kita kehilangan semua skill di atas karena sedang dalam suasana good mood (terbawa suasana nyamannya Yogya), lalu kita ikut permainan dan “perangkap” modus operandi yang mungkin sudah ia skenariokan, maka kita akan terjebak pada rasa kasihan, gak enakan, sungkan, iba, dan lain-lain.

Saya langsung cut kesempatan bagi orang itu untuk melakukan approach ke saya.

KEDUA, saya memilih tidak menolong orang seperti itu karena apa yang ia lakukan mengingat dan melihat kondisi dia yang masih muda, punya banyak benda berharga, sehat bugar, dan lain-lain, bagi saya, itu terasa tidak fit di prinsip ruang dalam diri saya. Ada value terdalam yang ia langgar di ruang dalam internal diri saya. Jangan pernah meminta-minta, apalagi mengemis di kala Anda sebenarnya bisa berusaha sendiri, punya banyak resources yang bisa diolah. Terlalu cemen daya juangnya jika langsung menyerah, lalu meminta-minta. Itu betul-betul values terdalam di internal diri saya tidak fit ketika bertemu kasus di atas. Terlebih dengan sempat-sempatnya dia membakar sebatang rokok di hadapan saya lalu menghembuskannya. Ini melanggar value saya. Anda bisa membeli dan memenuhi kebutuhan tersier, tapi tidak berjuang sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan primer. Logika yang tidak match dengan internal diri saya.

KETIGA, berkaitan dengan KONSEP DIRI, di kasus ini ditentukan apakah orang peminta-minta tadi lebih kuat konsep dirinya dari saya atau saya yang lebih kuat konsep dirinya dari dia. Jika orang itu lebih kuat konsep dirinya dibandingkan saya, maka dia akan dikte saya. Saya manut saja, ikuti arahan dia. Sebaliknya, jika konsep diri saya lebih kuat, maka saya akan mendikte dia. Di kasus ini, saya menentukan hasil akhir dari pertemuan sok akrab yang berujung pada proses mengemis.

KEEMPAT, di bagian akhir, hati si peminta-minta tadi jadi rusak, bete, bad mood, menolak salaman dari saya, wajahnya tidak seramah saat awal menyapa saya. Artinya, memang ada niat yang tidak baik dari orang ini. Turun drastis dalam waktu singkat dari Rp 500.000, lalu Rp 300.000, tebus jam, lalu ke angka Rp 20.000.

KELIMA, meski saya tidak respect dengan teknik approach yang dilakukan orang ini, namun saya menyadari perlu melakukan beautiful exit (istilah penutup di dunia training). Penutupnya tetap harus cantik, jangan kasar, jangan menghinakan orang tersebut. Memastikan diri ini tetap ramah, asertif, tidak judes, tidak gayalak, namun juga tidak goyah akan prinsip pribadi, menunjukkan apa value yang kita punya dan mempertahankannya. Bisa minta bantuan, tapi itu bukan ke saya dan saya sampaikan itu dengan clear.

Pernahkah Anda mengalami kejadian serupa? Apa reaksi Anda? Share ceritanya di kolom komentar yuk. Terima kasih.

8 comments

  1. Jazakallah pak Asing. sangat menginspirasi kita utk menguatkan konsep diri dan memampukan diri bersikap asertif. Orang melankolis dan di plegmatis sangat rawan terbawa situasi di aetikel di atas.

    Like

  2. Terima kasih pak utk sharingnya.. jujur saya masih blm kuat konsep dirinya.. mungkin kalau dihadapkan dgn situasi diatas, hati saya akan galau, apakah benar dia sangat butuh uang sampai harus meminta? Apakah saya salah kalo saya tdk memberi?

    Yg ingin saya tanyakan, bagaimana caranya kita menemukan konsep diri atau value yang bisa kita pegang yg bisa menguatkan kita saat dalam situasi terdesak atau saat kita sedang terpuruk? Terima kasih pak Ading, sukses selalu 😊

    Like

  3. Wadidaw.. Sering banget kejadian semacam ini tapi datangnya dari teman lama atau (mantan) saudara. Lho saudara kok mantan? Maksudnya mantan istri dari paman atau sepupu gitu, Pak. Ya kalau kenal seperti itu lebih sulit untuk mengelak, karena bagi saya mungkin berada di posisi mereka tidak mudah, setidaknya mereka ada usaha untuk menghubungi orang “lama” dan mungkin menebalkan muka untuk mengemis. Jadi pada akhirnya saya akan mengalah, hanya saja nominal yang saya berikan tentu sesuai keinginan saya sendiri, berdasarkan penilaian saya sendiri terhadap ybs (misal: janda, tidak bekerja, yatim piatu, keluarga besarnya kurang mampu, dst).

    Well, beda sih ya jadinya sm yg Pak Ading hadapi. Belum pernah sih yg kayak gitu Pak. But I trust my self that I can do a beautiful exit. Karena ada yg agak sejenis di stasiun CL (Jabotabek) tuh, gak henti-henti tiap hari ada aja yg ngajak “ngobrol” ujungnya minta sumbangan, untuk WWF katanya. Kalau itu siy sejak awal aku kuat, hahaha..

    Like

  4. Masyaa Allah. Sy pernah juga pak seperti itu. Awal nya enak. Berteman lama lama eh pinjam uang. Dan dia merasa udah kenal banget ma kita jadi seolah-olah mudah aja mau pinjam² uang ke kita..

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s