Sepulang dari liburan panjang, hampir sebulan di Mojokerto, Afiqah kerap merengek-rengek tidak jelas. Ia sedih meninggalkan Jawa Timur. Ia tampak bermuram durja manakala keluarga kami naik kereta api bertolak ke Jakarta. Saya menandai hal itu. Iqro’ terhadap apa yang terjadi.
.
Sesampainya di Jakarta, Afiqah tetap masih merengek-rengek. Seharusnya kami ada di rumah di Cibubur. Tapi, entah kenapa Afiqah ingin ke apartemen. Di sana ada Akung. Ia masih kangen Akung. Setelah kami ke apartemen, bertemu Akung dan kemudian Akung pulang ke Jawa Timur, tetap saja Afiqah merengek-rengek untuk alasan yang tidak jelas.
.
Saya tanya baik-baik. “Ada apa Afiqah? Kalau ada masalah, kita bicara. Bukan merengek-rengek.” Saya jelaskan bahwa saya tidak nyaman mendengar rengekan tanpa alasan yang jelas. Jika ada masalah, mari kita cari solusinya sama-sama.
.
Lagi-lagi tetap saja Afiqah matanya berkaca-kaca.
.
Ya Allah, apa yang terjadi ini? Saya peluk anak saya itu. Saya tatap matanya. Saya baca konteks apa kira-kira yang membuat dia seperti orang gelisah, tidak tenang. Tepatnya dua hari lagi akan segera mulai sekolah. Mulai sekolah di SD Batutis Al-Ilmi, di Pekayon Bekasi.
.
Apa Afiqah tidak bahagia tinggal bersama kami? Apa ia lebih nyaman ada di Mojokerto? Apa ia mau sekolah di Mojokerto? Banyak pertanyaan yang berputar di kepala saya dan istri saya. Kami beri opsi kepada Afiqah, jika memang ingin tinggal di Mojokerto bareng Uti dan Akungnya, ia perlu kasih tahu. Kalau ada hal yang ayah dan mandanya bikin tidak nyaman dia, kami berharap Afiqah memberitahu. Tapi nyatanya, tetap saja kami gagal menggali informasi.
.
Jelang masuk sekolah kembali, sebenarnya kami sudah jalan-jalan juga di Jakarta. Kami jalan ke Monas dan naik hingga lantai paling atas. Afiqah gembira sekali saat itu. Tapi, tetap saja ia seperti tak ada gairah. Ia terlihat tak bahagia. Something’s wrong.
.
Saya terus terang kehabisan akal. Apa sebenarnya yang terjadi. Saya mohon kepada Allah agar diberikan clue. Apa yang terjadi. Saya tatap mata anak saya. Saya baca matanya. Apa sebenarnya kekhawatirannya. Apa hal yang bikin tidak nyaman. Saya masuk dari perspektif dia. Saya baca melalui konteks yang ia alami. Saya bayangkan diri saya menjadi Afiqah. Lalu saya bayangkan, apa kira-kira hal yang membuat diri saya khawatir. Apa yang akan dihadapi? Apa hal yang masih belum pasti? Apa yang bikin galau? Semua peralatan sekolah sudah jauh-jauh hari kami siapkan Bersama-sama. Beli seragam, buku, dan lain-lain.

Tiba-tiba….!!! Aha moment itu datang. Saya melakukan flashback terhadap diri saya, di fase kehidupan saya saat akan masuk SD. Saya bayangkan apa yang saya pikirkan ketika mau masuk SD dulu. Nyes!!! Saya tiba-tiba merasa tidak nyaman. Saya ingat, dulu saya masuk SD tanpa proses masuk TK terlebih dahulu. Orangtua saya dulu bukan aliran yang percaya bahwa masuk TK itu ada manfaatnya. Main-main doang. Selain itu, karena anaknya ada 4, maka skala prioritas untuk masuk TK jadi urutan paling akhir yang bisa dipikirkan. Jadilah saya, abang saya, dan adik-adik saya tidak ada yang TK. Langsung SD.
.
Apa yang saya rasakan saat mau masuk SD? Perut mules beberapa hari sebelum hari-H itu datang. Ada rasa khawatir. Bagaimana kehidupan SD itu? Bagaimana teman-temannya? Bagaimana proses belajarnya? Semua masih jadi serba tanda tanya. Tidur tak tenang. Antara gak sabar ingin mencoba dengan takut menjalani. Bagaimana jika gak nyaman? Semua pikiran berkecamuk saat itu. Lebih-lebih, saat berangkat di hari-H, perut langsung mules. Khawatir. Akan seperti apa teman-teman? Bagaimana rasanya punya uang jajan? Mau beli apa nanti kalau punya uang jajan? Semua hal tumpah ruah jadi satu, dan itu perasaan yang complicated. Tak bisa dijelaskan pakai kata-kata. Saya hanya simpan sendiri saat itu.
.
Setibanya di sekolah, semua orangta mendampingi. Ada yang menangis gak mau ditinggal. Ada yang malu-malu. Ada yang takut. Ada yang perlu diseret-seret masuk kelas. Drama! Saya sendiri bagaimana? Saya tenang. Saya ikuti proses belajar. Dalam hati saya malah ketawa. Itu orang-orang yang TK, kok kayak percuma ikut TK tapi masih meraung-raung pas masuk SD. “CEMEN!” kata saya di dalam hati. Mama saya meninggalkan saya setelah selesai dintar. Sempat diintip dari jendela, tapi saya usir-usirin.
.
Proses saya menjalani SD akhirnya berjalan lancar. Tak seperti kekhawatiran sebelumnya. Begitu juga saat saya masuk MTs di Assalaam-Solo-Jawa Tengah. Begitu juga saat masuk SMA Insan Cendekia, Serpong. Ada kemiripan di fase jelang masuknya selalu berkecamuk di internal diri saat belum mulai, tapi begitu sudah mulai, ternyata gak semenakutkan yang dibayangkan. Apa yang saya lakukan dalam menghadapi kekhawatiran itu adalah saya fokus alihkan semua rasa cemas, takut, khawatir itu, jadi energi positif dengan langsung tancap gas: BELAJAR! Semua energi terserap ke sana, sehingga tidak ada ruang untuk bersedih, mellow, dan lain-lain.
.
Lalu setelah saya bayangkan diri saya melalui flashback itu, saya kembali ke dunia nyata Afiqah. “Jangan-jangan, Afiqah mengalami hal yang sama dengan apa yang saya alami?” Batin saya menduga-duga. Saya tanyakan ke Manda Andin Garindia. “Manda dulu pas mau masuk sekolah, ada rasa khawatir begitu gak?” Dijawab Manda Andin Garindia “Nggak ada sama sekali. Lempeng aja!” “Waduh, cadas banget!” piker saya. Ada perubahan penting di fase kehidupannya, dan dia lempeng aja. Hebat!
.
Saya kembali lagi ke Afiqah. Saya tatap matanya dalam-dalam. Saya masuk kembali ke dunianya. Saya coba bayangkan diri saya menjadi dirinya, lalu saya beranikan diri menebak, “Afiqah khawatir menghadapi sekolah di SD? Afiqah ada rasa gak nyaman jelang nanti sekolah SD?”
.
Seketika itu juga Afiqah menangis tersedu-sedu. Ia mengangguk tanda setuju dengan hasil analisis saya itu. Saya peluk Afiqah. Saya usap-usap punggungnya. “Tenang… Kamu gak sendirian. Ayah dulu juga gitu kok… Khawatir jelang masuk SD… Ampe sakit-sakit perut mau ke toilet…”
.
Ternyata, jika kita benar-benar berniat IQRO’ (membaca) anak kita, Allah akan tunjukkan clue yang memudahkan kita mengetahui apa isi hatinya. Alhamdulillah. Ketemu masalah intinya. Sekarang tinggal cari bagaimana solusi mengatasi masalah yang ada itu.
============
Bagaimana me-release emosi jiwa yang berkecamuk dari dalam diri? Begini cara simple-nya. Saya sediakan kertas A4 kosong. Saya sediakan juga kertas post-it ukuran sedang. Lalu saya mulai ajak Afiqah untuk mencari solusi bersama. Ia sudah tenang sekarang. Saya peluk Afiqah. Mandanya juga sudah peluk Afiqah.
.
Saya minta Afiqah menuliskan di tiap lembar kertas post-it, apa yang jadi kekhawatirannya. Tiap lembar post-it, satu kekhawatiran/ kecemasan.
.
Akhirnya ia lakukan proses tersebut. Di saat menjalani proses menuliskan rasa cemas dan khawatir itu, Afiqah sudah ceria. Da seperti masuk ke dalam fase permainan seru. Kadang dia berhenti menulis, mikirin mendalam, melakukan inner journey terhadap dirinya sendiri, lalu kembali menuliskan poin demi poin penting.
.
Ketika proses ia menuliskan semua rasa cemas, khawatir, takut, dan hal-hal yang tidak nyaman itu, sebenarnya ia sedang merilis sesuatu yang abstrak menjadi kongkrit. Saya sebut istilahnya mind to muscle. Segala sesuatu yang abstrak, berkecamuk di dalam pikiran kita, jika kita tidak segera rilis, dipikiriiiiiiiiiin terus tanpa dicari solusinya, maka itu akan jadi sampah emosi, akan jadi beban pikiran, akan jadi “TOXIC” bagi diri kita. Gak sehat sama sekali.
.
Setelah selesai menuliskan semua poin, hingga dia rasa sudah cukup tuntas, sudah lega, napasnya sudah kembali teratur, maka langkah selanjutnya yang saya arahkan adalah Afiqah perlu mengurutkan semua poin masalah itu berdasarkan 3 kategori. Kategori pertama: masalah yang paling bikin khawatir. Kategori kedua: masalah yang sedang-sedang saja level kekhawatirannya. Kategori ketiga: masalah yang ya sebenarnya gak masalah-masalah penting banget sih. Bisa diabaikan. Afiqah pun kemudian mengurutkan skala prioritas kecemasannya itu.
.
Kemudian, dari tiap masalah yang telah dituliskan, ia bacakan keras-keras di depan saya dan manda Andin Garindia. Kemudian, dari tiap poin itu, saya balik bertanya kepadanya tentang kira-kira apakah hal tersebut sudah pasti atau belum pasti? Apakah fix seperti apa yang dipikirkan, atau jangan-jangan itu tak seperti yang dibayangkan? Masih bisa berubah? Saya goyang pikiran Afiqah, bahwa apa yang ia pikirkan itu, jangan-jangan ketakutan, kekhawatiran yang belum tentu valid terjadi di kehidupan nyata nanti pas sudah menjalani sekolah di SD.
.
Ketika ada satu poin yang ia tuliskan misalnya, “Gak satu sekolah lagi sama Aby”, maka kami merespon jawaban Afiqah bahwa nanti KB-TK dan SD Batutis Al-Ilmi kemungkinan disatukan dalam 3 bulan ke depan. Jadi, dia hanya perlu menunggu 3 bulan saja kok. Waktu yang sebentar. Tidak akan terasa, udah satu sekolahan lagi (arenanya).
.
Ada lagi poin yang dia tulis, “Beda Guru” dan “Beda Teman”. Kami ajak Afiqah berpikir tentang masa lalunya di TK. Dulu, waktu awal masuk Batutis Al-Ilmi, ia juga tak mengenal siapapun. Akhirnya, ia kenalan satu-persatu baik guru maupun teman. Semua butuh proses dan itu hal yang lumrah dijalani mau masuk lingkungan baru, pasti ketemu orang baru. Saya ajak Afiqah flashback saat di TK dulu, “Benar gak?” Dia jawab, “Eh, iya ya….” Sambil cengar-cengir sendiri setelah menjawab hal itu.
.
Yes, dah mulai shifting nih pemikirannya. “Imannya” tentang kekhawatiran, kecemasan, resah-gelisah, itu mulai runtuh poin per poin.
.
Solusinya agar tidak canggung ketemu orang baru, saya sampaikan, set di kepala kita untuk berkenalan dengan orang baru. RENCANAKAN! Satu hari, kenalan dengan satu guru. Kalau jumlah guru total ada 20 orang, artinya, Afiqah hanya butuh waktu 20 hari sekolah untuk kenal semua guru. Kenalan dengan satu guru, catat karakteristiknya. Catat ciri-ciri guru tersebut.
.
Begitu juga dengan teman baru. RENCANAKAN! Kenalan satu hari kenalan dengan satu orang di kelas kita saja. Catat ciri-cirinya, rumahnya dimana, nama panggilannya siapa, bagaimana tipe orangnya. Kalau di kelas ada 10 orang, artinya, hanya butuh 10 hari untuk adaptasi. “Singkat bukan?” saya menantang logika Afiqah.
.
Kembali Afiqah cengar-cengir. Hampir semua poin saya upayakan dikembalikan ke pengalaman hidup Afiqah terdahulu. Bahwa dia pernah menaklukkan hal serupa saat di TK. Coba ingat-ingat lagi…. Ternyata dia jadi menyadari bahwa dirinya mampu kok mengatasi masalah-masalah yang dituliskan di kertas post-it itu.
.
Ada juga poin yang menjelaskan bahwa ada rasa khawatir. Saya ceritakanlah pengalaman saya pas mau masuk SD, MTs, SMA, Kuliah. Ternyata, ada kemiripan dengan Afiqah. “Emang ini anak ayah banget…. Sama persis rasa khawatirnya…” Tapi rasa khawatir itu, bisa kita kelola kok nak. Begitu kata saya meyakinkan dia. Buktinya, sekarang, semua poin keraguan Afiqah, ternyata ada solusinya.
.
Saya arahkan Afiqah menuliskan solusi atas masalahnya itu di kertas bagian belakang dari kertas post-it itu. Jadi, ketika dia tempel poin kekhawatiran itu, lalu kita cari bersama-sama solusinya, setelah ketemu, Afiqah tuliskan di baliknya. Begitu seterusnya sampai tuntas semua poin kekhawatiran itu.
.
Pada akhirnya, saya tekankan lagi ke Afiqah, jika hati kita galau, khawatir, ambil secarik kertas, tuliskan apa sih yang bikin galau itu. Lalu bahas satu-satu. Masuk akal gak sih? Ada solusinya gak? Kalau bingung, tanya orang lain yang punya pengalaman lebih banyak dari kita. Gak ada masalah di dunia ini yang gak ada solusinya. Semua masalah yang datang ke kita di dunia, bisa dicarikan jawaban dan solusinya secara open-book, atau tanya orang yang ahli atau lebih berpengalaman. So, masalah bukan buat DIPIKIRIN. Masalah mah untuk dirumuskan, diidentifikasi, untuk kemudian DICARI SOLUSINYA. Kalau masalah dipikirin banget, buang-buang energi. Rungsing. Pusing. Emosi gak stabil. Hidup gak bahagia. Ngapain hidup gak bahagia? Lha wong hidup cuma sebentar di dunia. ENJOY!
.
Siang hingga sore sehari sebelum besok sekolah itu, adalah hari yang berkesan menurut saya. Kami berhasil menemukan cara baru yang praktis bagi Afiqah untuk identifikasi masalah dan mencari solusinya. Kelak, bekal ini bisa ia gunakan jika menghadapi masalah di dalam hidupnya. Jangan lupa RUMUSKAN + CARI SOLUSI! Jangan dipikirkan tanpa solusi. Jangan bawa masalah kemana-mana. Jangan sampai bawa masalah dan merembet kena ciprat ke orang-orang ke sekeliling kita. Orang dewasa pun bisa menggunakan teknik praktis ini.

Hari-H
.
Pagi itu masih ada residu kekhawatiran. Tapi, kami berikan pijakan informasi ke Afiqah untuk bisa enjoy menikmati proses sekolah SD. Pagi itu, semua barang sudah disiapkan. Kami berangkat dari Cibubur. Karena hari pertama sekolah, kami prediksi akan sangat macet. Kami berangkat jam 06.00 WIB. Estimasi tiba di sekolah sekitar jam 06.45. Masih aman. Afiqah masuk jam 07.15. Tidak boleh telat. Kami bertekad sama. Pastikan memberikan pengalaman aman-nyaman di hari pertama karena ini satu fase penting di dalam hidup Afiqah.
.
Perjalanan lancar-lancar saja, hingga mendekati sekolah, ada pertigaan yang macet sekali. Padahal jarak sekolah hanya sekitar 700 meter lagi lah. Lama kami menunggu. Kemacetan tidak terurai juga. Banyak mobil putar balik. FRUSTASI. Saya lihat jam sudah pukul 06.50. Mulai ketar-ketir. Afiqah mulai gelisah. Ia tak mau terlambat. Waktu terus berdetak. Jam mulai menunjukkan pukul 07.00 dan kami masih stuck di tempat yang sama. No progress!
.
Hari pertama sekolah, jika anak saya terlambat, ia kecewa, tak bisa dibayangkan rasanya. Saya ambil keputusan cepat. Masuk ke RS OMNI INTERNASIONAL. Rumah sakit baru di sekitar Pekayon. Masuk ke parkirannya, parkirin mobil, bu Andin, Abrisam dan Adek Ena, nunggu di sana. Afiqah saya ajak turun dari mobil untuk berjalan. Ia mulai cemas. Raut wajahnya mulai tak enak. Saya tahu rasa khawatirnya. Anak dengan Metode Sentra adalah anak yang taat aturan main. Telat, artinya tidak presisi, melanggar, tidak akurat. Akan ada rasa bersalah di dalam dirinya.
.
What to do? Saya bilang ke Afiqah? “Boleh ayah gendong aja kakak Afiqah?” Biar gak capek dan lebih cepat. Afiqah setuju saja. Untuk satu misi: TIDAK TELAT!
.
Saya gendong Afiqah. Saya sedang menjalani peran saya sebagai ODONG OJEK GENDONG! Ini mah lewat dah OJOL OJEK ONLINE. Ketemu bapak-bapak di jalanan, kami disemangati. “Ayo, biar gak telat. Macet di sini” Saya tersenyum saja ke bapak itu. Saya gendong Afiqah yang sudah mulai berat itu… Lalu sambil berlari, kami menyusuri jalanan menuju sekolah. Di perempatan jalan saya lihat ada 2 orang TNI yang mengatur lalu lintas. Agaknya saking gak ada yang mengalah, pada berantem lah di perempatan itu. Maka inisiatif pak TNI itu patut diacungi jempol.
.
Saya berlari dan terus berlari sambil menggendong Afiqah. Napas ngos-ngosan. Dah lama gak main futsal. Di tengah jalanan yang penuh kendaraan mobil dan motor, saya nyelip-nyelip berlari. Kaki mulai letih. Napas tersengal-sengal. DEMI ANAKKU, DEMI RASA AMAN DAN NYAMAN di hari pertama, apapun akan dilakukan seorang ayah untuk anaknya. Ini fase besar di dalam hidupnya. Saya tak mau mengecewakannya. Terlebih setelah proses MIND TO MUSCLE kemarin yang sudah sangat meyakinkan Afiqah, masa sih harus berujung dengan kekecewaan terlambat di hari pertama? AYO BERJUANG!
.
Akhirnya sudah semakin dekat. Kami tiba di gereja. Gereja ini letaknya di depan gang menuju sekolah Batutis Al-Ilmi. Afiqah minta diturunkan. “Udah dekat yah. Aku turun aja ya. Jalan aja.” Saya paham, pasti gak enakanlah dilihat teman-temannya yang lain, anak SD tapi digendong. Ok. Saya turunkan Afiqah. Kami jalan bersama. Saya gandeng tangannya.
.
Akhirnya kami tiba di sekolah pukul 07.08 WIB. Alhamdulillah. Tidak telat. Afiqah bahagia. Senyum. Ia melihat banyak sekali murid di SD. Ada teman lama dari TK, ada juga teman yang benar-benar baru. Ia mengisi daftar presensi lalu menaruh tas di dalam kelasnya.
.
Mudah-mudahan Afiqah ingat betul pengalaman ini di sepanjang hidupnya. Ada ayahnya yang berjuang bersamanya saat masuk SD dulu, sambil berlari dan digendong memakai Teknik ODONG OJEK GENDONG. Ini kenangan manis buat saya. Ini pengalaman yang seru. Saya bahagia betul menjadi ayah. Saya menikmati peran ini. Terima kasih Allah masih kasih saya kesempatan untuk hidup, menjadi ayah terbaik versi saya sendiri.
.
Tiba-tiba di hari pertama, dapat kiriman dari Bu Siska Massardi, dengan pesan seperti ini: “Afiqah tenang.. Cool 😊 Kebayang kemarin2 masih jerit2 di kelas toddler.. Waktu cepat berlalu.”
.
Tentu saja untuk membentuk karakter anak bisa tenang, perlu kerjasama tim antara guru di sekolah dengan orangtua di rumah. Semakin padu kerjasama tim, makin cepat dan mudah membangun karakter anak, membangun trust anak, membangun konsep diri anak. Supaya ia jadi anak berdaya. Ketika anak berdaya, ia bisa dengan sangat mudah untuk di develop, diajak berpikir logis. Masya Allah. Tabarakallahu lana.
==========
“Karir Anda Menanjak Maksimal, Anak Tumbuh Optimal!”
.
Penulis adalah Pak Ading, seorang Childhood Optimizer Trainer. Ia melatih para orangtua muda untuk mampu meningkatkan kapasitasnya sebagai orangtua yang mampu mengoptimalkan masa kecil anaknya dalam membangun karakter anak, melalui 2 strategi: strategi komunikasi dan strategi bermain. Melalui 2 strategi tersebut, diharapkan orangtua mampu membangun BONDING yang kuat dengan anak, sehingga mampu memfasilitasi tumbuh-kembang anak secara optimal dan siap menjadi BONUS DEMOGRAFI 2045 yang merupakan BERKAH buat bangsa kita, bukan sebagai MUSIBAH. Fokus Pak Ading adalah mengobservasi, meneliti, dan merumuskan modelling terbaik dari ‘program intervensi’ yang pas untuk membangun karakter-karakter positif pada diri anak usia dini dalam pengasuhannya di rumah dan sekolah.
.
JOIN FB grup: Optimasi Masa Kecil Anak: klik http://bit.ly/29uiEJs
Like Fan Page: Adlil Umarat Childhood Optimizer, klik http://bit.ly/29XHgyN
E-mail: childhoodoptimizer@gmail.com
Instagram: @adlilumarat
Twitter: @pukul5pagi
LinkedIn: Adlil Umarat
Phone: 08111170128